ASUHAN KEPERAWATAN DIARE PADA ANAK
Elvia Malbeni HarLen
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Penyakit diare merupakan suatu masalah yang mendunia. Seperti sebagian besar penyakit anak-anak lainnya, penyakit diare tersebut jauh lebih banyak terdapat di negara berkembang daripada negara maju, yaitu 12,5 kali lebih banyak di dalam kasus mortalitas (WHO/ EIP, yang tidak dipublikasikan). Di antara banyak bentuk penyakit diare, yang dihadapi oleh anak-anak berusia di bawah lima tahun (khususnya yang rentan), yang paling parah menurut manifestasi klinisnya adalah kolera, infeksi rotavirus dan disentri. (WHO, 2008)
Diare adalah kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi satu kali atau lebih buang air besar dengan bentuk tinja yang encer atau cair. Diare sebenarnya bukan nama penyakit, tapi merupakan suatu gejala. Kalau didefinisikan, diare berarti kehilangan air dan elektrolit secara berlebihan melalui BAB (buang air besar). Bayi biasanya memiliki volume BAB sampai dengan 5 gr/kg BB perhari, sedangkan dewasa sekitar 200 gram per 24 jam. Usus halus pada orang dewasa mampu menyerap air sampai 10 – 11 liter per hari, sedangkan usus besar hanya menyerap 0,5 liter per hari. Oleh karena itu, gangguan di usus kecil biasanya akan menyebabkan diare dengan volume air yang banyak. Sedangkan gangguan di usus besar biasanya akan menyebabkan diare dengan volume air yang lebih sedikit.
Dasar semua diare adalah gangguan transportasi larutan usus. Perpindahan air melalui membran usus berlangsung secara pasif dan hal ini ditentukan oleh aliran larutan secara aktif maupun pasif, terutama natrium, klorida dan glukosa.
Jika anak mengalami diare, tinjanya encer (seperti, lumpur atau sangat berair) dan lebih sering buang air besar daripada biasanya. Kadang-kadang diare disertai muntah, nyeri lambung, atau demam. Penyebab umumnya adalah virus, pemberian antibiotik (yang mengganggu keseimbangan bakteri normal di dalam usus), atau diet (bisa jenis atau jumlah makanan). Penyebab yang lebih jarang terjadi adalah beberapa penyakit tertentu dan infeksi bakteri atau parasit. (Susi Purwoko, 2006)
1. Diare Akut
Penyebab diare akut yang paling sering ditemukan adalah organisme menular. Diare akut dapat pula disebabkan oleh obat-obat atau toksin yang termakan, penggunaan kemoterapi, pemberian kembali nutrisi enteral setelah puasa yang lama atau terjadi fecal impaction (overflow diarrhea) atau oleh situasi tertentu, seperti lari marathon. Di samping itu, diare akut dapat menunjukkan timbulnya penyakit diare yang kronik.
a. Diare Infeksius
Diare infeksius yang akut dan tersebar luas di seluruh penjuru dunia menyebabkan lebih dari 4 juta kematian setiap tahunnya pada anak-anak balita, khususnya di negara berkembang tempat diare infeksius yang akut menjadi penyebab utama malnutrisi kalori protein dan dehidrasi. Faktor-faktor yang turut menjadi penyebab adalah pembuangan limbah serta pengadaan air bersih yang tidak memadai, lingkungan yang penuh sesak serta kurangnya kebersihan perorangan, kemiskinan, kurangnya akses pada pelayanan kesehatan dan kurangnya pendidikan. Bahkan di Amerika Serikat sekalipun, kerugian ekonomi yang bermakna terjadi akibat diare infeksius akut yang menyebabkan 250.000 perawatan rumah sakit dan hampir 8 juta kunjungan pasien ke dokter setiap tahunnya.
Sebagian besar penyakit diare infeksius didapat melalui penularan fekal / oral melalui makanan atau air yang tercemar oleh kotoran manusia sebagai akibat dari sistem pembuangan limbah yang jelek atau oleh kotoran hewan peliharaan didalam air yang kebersihannya tidak memadai. Daging sapi, babi atau unggas dapat menjadi sumber infeksi bila daging tersebut tidak dimasak dengan baik. Permukaan alat untuk pembuatan makanan dapat terkontaminasi oleh organisme yang akan mencemari makanan yang tidak dimasak. Penularan antar manusia juga dapat terjadi lewat polusi udara (agen Norwalk, rotavirus), kontaminasi tangan (Clostridium difficile) atau permukaan tubuh, atau lewat aktivitas seksual.
Di Amerika Serikat, kelompok populasi dengan resiko yang tinggi untuk menderita diare infeksius akut mencakup para wisatawan yang akan bepergian ke negara-negara berkembang atau yang baru kembali dari negara-negara tersebut, individu yang mengkonsumsi kerang-kerangan, kaum homoseks (gay bowel syndrome), perempuan tuna susila dan pemakai obat bius intravena. Para penderita AIDS menghadapi resiko untuk menderita rangkaian infeksi interik yang serius secara mencolok. Di antara anak-anak yang diperiksa di klinik perawatan siang hari, diare infeksius akut umumnya terjadi dari penularan antar manusia.
Organisme yang paling sering terlibat dalam epidemik diare di tempat perawatan tersebut adalah Shigella, Giardia lamblia dan Cryptosporidium. Angka serangan sekunder yang berkisar antara 10 dan 20 persen menggambarkan sumber infeksi yang penting bagi orang tua serta saudara sekandung. Institusi lain yang berisiko tinggi untuk terjadinya epidemik diare infeksius akut adalah para penghuni panti perawatan untuk anak-anak cacat mental serta tumbuh kembang, panti-panti perawatan orang tua dan rumah sakit.
Gambaran Klinis
Pasien diare infeksius yang akut secara khas ditemukan dengan gejala nausea, vomitus, nyeri abdomen, panas dan diare yang bisa encer, malabsorptif atau berdarah menurut penyebabnya. Pasien-pasien yang termakan toksin atau individu dengan infeksi toksigenik secara khas akan mengalami nausea dan vomitus sebagai gejala yang menonjol tetapi jarang menderita panas yang tinggi. Nyeri abdomen yang terjadi bersifat ringan, difus serta kram dan mengakibatkan diare cair. Vomitus yang dimulai dalam waktu beberapa jam setelah mengkonsumsi suatu makanan harus dicurigai kemungkinan keracunan makanan yang disebabkan oleh toksin yang terbentuk sebelumnya.
Parasit yang tidak menginvasi mukosa intestinal seperti Giardia lamblia dan Cryptosporidium biasanya hanya menimbulkan perasaan tidak enak perut yang ringan. Infeksi Giardia juga dapat disertai dengan steatore ringan, keadaan penuh gas dalam perut dan meteorismus. Bakteri invasif seperti Campylobacter, Salmonella serta Shigella dan organisme yang memproduksi sitotoksin seperti C. difficile serta organisme enterohemorhagik Escherchia coli menyebabkan inflamasi intestinal yang berat, nyeri abdomen dan sering pula demam yang tinggi; kadang-kadang terdapat tanda peritoneal yang menunjukkan kasus bedah abdomen.
Kuman Yersenia sering menginfeksi ileum terminalis serta sekum dan ditemukan dengan nyeri serta nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan bawah yang sugestif ke arah apendisitis akut. Diare yang encer merupakan cirri khas organisme yang menginvasi epitel intestinal dengan inflamasi ringan, seperti virus enteric, atau organisme yang menempel tanpa merusak epitel tersebut, seperti kuman enteropatogenik atau enteroaderen E. coli, protozoa dan helmintes. Sebagian organisme seperti Campylobacter, Aeromonas, Shigella dan spesies Vibrio keduanya memproduksi enterotoksin dan menginvasi mukosa intestinal; karena itu, pasien yang menderita infeksi ini sering ditemukan dengan diare cair yang diikuti oleh diare berdarah dalam waktu beberapa jam atau hari.
Adanya gejala sistemik dalam memberikan petunjuk tambahan tentang penyebab diare yang mendasari. Baik shigellosis maupun infeksi oleh kuman enterohemorhagik E. coli dapat disertai oleh sindroma hemolitik-uremik, khususnya pada individu yang usianya sangat muda atau sangat tua. Infeksi Yersenia dan kadang-kadang pula infeksi bacteria enteric lainnya dapat disertai dengan sindroma Reiter (arthritis, uretritis dan konjungtivitis), tiroiditis, perikarditis atau glomerulonefritis.
2. Diare Kronik
Diare yang menetap selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan, baik konstan atau intermiten, memerlukan evaluasi. Meskipun dalam kebanyakan kasus penyebab akan terbukti sebagai sindroma usus iritatif, diare dapat menggambarkan manifestasi penyakit serius yang mendasari dan harus dilakukan pencarian penyakit organik. Diare kronik dapat dikategorikan secara patofisiologi sebagai diare inflamasi, diare osmotik (malabsorpsi), diare sekretori, gangguan motilitas usus dan diare faktisius.
a. Diare Inflamatorik
Diare inflamatorik umumnya ditandai oleh gejala panas, nyeri tekan abdomen, adanya darah atau leukosit di dalam tinja dan lesi inflamatorik yang terlihat pada hasil biopsi mukosa intestinal. Pada sebagian kasus dapat ditemukan hipoalbuminemia, hipoglobulinemia dan protein-losing enteropathy. Di samping inflamasi, mekanisme diare dapat mencakup malabsorpsi atau sekresi intestinal.
Pada pasien yang tidak mengalami sakit sisitemik, tinja yang cair dan mengandung darah yang nyata atau tidak tampak (okulta) harus menimbulkan kecurigaan terhadap kemungkinan neoplasma kolon. Pasien proktitis ulserativa juga dapat ditemukan dengan gejala seperti ini. Pada pasien yang menderita sakit sistemik dengan diare berdarah yang kronik, kita harus mencurigai kemungkinan penyakit usus inflamatorik (colitis ulserativa atau penyakit Crohn). Diagnosis ini harus dicurigai kalau diare kronik tersebut disertai dengan manifestasi ekstraintestinal yang menonjol, termasuk arthritis, lesi kulit seperti eritema nodosum atau pioderma gangrenosum, uveitis atau vaskulitis.
Diare pada penyakit usus inflamatorik dapat terjadi akibat kerusakan epitel permukaan usus yang berfungsi untuk penyerapan disamping pelepasan zat-zat sekretorik didalam sirkulasi darah seperti leukotrien, prostaglandin, histamine dan sitokin lainnya yang menstimulasi sekresi intestinal ataupun sistem saraf enterik.
Diare inflamatorik terlihat pada pasien enterokolitis radiasi yang kronik sebagai akibat dari tindakan iradiasi pelvis untuk mengatasi malignitas pada traktus urogenital perempuan atau prostat laki-laki. Segmen usus yang terkena biasanya ileum terminalis, sekum dan rektosigmoid karena semua bagian ini terfiksasi di dalam rongga pelvis. Resiko tumbuhnya enterokolitis radiasi mempunyai korelasi dengan dosis radiasi; frekuensinya adalah 1 hingga 5 persen dengan dosis penyinaran 4500 hingga 5500 rad dan 35 persen dengan dosis penyinaran yang lebih tinggi. Trauma radiasi kronik ditandai khas oleh pembengkakan progresif sel endotel dalam arteriol kecil submukosa yang menyebabkan endarteritis obliteratif dan thrombosis vaskuler dan menyebabkan iskemia dengan fibrosis, penebalan dinding usus, ulserasi dan pembentukan visera mukosa. Kolonoskopi dapat menunjukkan penyempitan lumen, ulserasi, perubahan inflamasi difus dan telangiektasis mukosa yang khas mudah berdarah. Diare juga diakibatkan oleh malabsorpsi asam empedu karena inflmasi ileum atau pertumbuhan bakteri yang berlebihan yang disebabkan oleh striktur atau statis usus.
b. Diare Osmotik
Diare osmotik terjadi kalau larutan yang ditelan tidak diserap seluruhnya dalam usus halus sehingga timbul kekuatan osmotik yang akan menarik cairan kedalam lumen intestinal. Peningkatan volume cairan didalam lumen usus melebihi kemampuan kolon untuk penyerapan kembali. Larutan yang tidak terserap dapat berupa nutrient atau obat yang mengalami maldigestif atau malabsorpsi. Gejala klinis biasanya dikenal karena malabsorpsi lemak (steatore) atau karbohidrat. Malabsorpsi protein atau asam amino (azotorea) umumnya tidak dikenal secara klinis kecuali jika cukup parah untuk menyebabkan malnutrisi atau akibat defisiensi spesifik pada asam amino.
Diare osmotik dapat diakibatkan karena makan buah-buahan tertentu secara kronik atau permen, permen karet, makanan dietetic dan pengobatan yang dimaniskan dengan karbohidrat yang tidak diabsorpsi seperti sorbitol atau fruktosa. Kelainan kongenital, tidak adanya enzim-enzim hidroksilase karbohidrat brush border dan protein-protein transport juga dapat menimbulkan diare kronik; kelainan yang paling sering ditemukan di antara semua penyebab ini adalah defisiensi laktase yang menyebabkan intoleransi laktosa.
Contoh klasik malabsorpsi intestinal adalah penyakit celiac sprue atau enteropati peka-gluten. Di samping ditemukan dengan keluhan dan gejala yang khas untuk malabsorpsi, pasien penyakit celiac sprue dapat memberikan gambaran klinis atipikal yang mencakup kegagalan tumbuh kembang, atrofi otot, distensi abdomen serta iritabilitas pada anak-anak kecil, dan anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, retardasi pertumbuhan serta anoreksia pada anak-anak remaja atau dewasa muda. Pada usia yang lebih tua, pasien keadaan ini dapat ditemukan dengan defisiensi gizi yang terjadi perlahan-lahan, infertilitas dan penyakit neuromuskular. Seperti halnya celiac sprue, penyakit tropical sprue ditandai oleh gejala malabsorpsi dan perubahan histologi usus halus yang berupa atrofi vili intestinalis, hyperplasia kripta, kerusakan epithelium permukaan dan infiltrate leukosit mononuklear dalam lamina propria. Sebagai penyakit yang menjangkiti para penghuni kawasan tropis tertentu di dunia, tropical sprue dapat timbul bahkan pada wisatawan yang tinggal selama 1 hingga 3 bulan di suatu daerah endemik. Awitannya bisa akut yang sugestif kearah etiologi infeksius.
Malabsorpsi usus merupakan ciri khas penyakit Whipple akibat T.whippelii, yang biasanya menyerang laki-laki usia menengah, tetapi juga dapat menyerang semua umur pada pasien dari semua jenis kelamin. Manifestasi tambahan terdiri dari artralgia, demam dan menggigil, hipotensi, limfadenopati, dan terkenanya sistem saraf pusat. Abetalipoproteinemia disebabkan oleh tidak adanya Apo B yang menyebabkan pembentukan kilomikron defektif. Anak-anak dengan gangguan ini mempunyai gejala steatore, sel darah merah akantositik, ataksia dan retinitis pigmentosa. Steatore juga dapat diakibatkan oleh infeksi Giardia, Isospora, Strongyloides dan Mycobacterium avium-intracellulare. Penelanan obat-obat tertentu dapat menyebabkan steatore karena kerusakan enterosit; contohnya termasuk kolkisin, neomisin dan asam para-aminosalisilat.
c. Diare Sekretorik
Diare sekretorik ditandai oleh volume feses yang besar akibat transportasi cairan dan elektrolit yang abnormal tetapi tidak selalu berhubungan dengan konsumsi makanan. Karena itu, diare biasanya tetap terjadi sekalipun pasien berpuasa. Istilah diare cair (watery diarrhea) sering digunakan sebagai sinonim untuk diare sekretorik. Karena cairan diare pada keadaan ini merupakan larutan yang tidak terserap. Osmolalitas feses pada diare sekretorik dapat diukur berdasarkan unsur ion normal tanpa kesenjangan osmotik pada feses.
Contoh-contoh klasik diare sekretorik adalah diare yang terjadi lewat mediator hormone. Pasien tumor karsinoid metastatic traktus gastrointestinal dapat memperlihatkan diare cair sebagai bagian dari sindroma karsinoid yang mencakup episodic flushing, lesi kulit telangiektasia, sianosis, lesi kulit mirip pelagra, bronkospasme dan bising jantung akibat lesi valvuler sisi kanan. Sindroma karsinoid terjadi akibat sekresi berbagai substansi vasoaktif yang merupakan secretagogues intestinal yang poten, yang mencakup serotonin, histamine, katekolamin, prostaglandin dan kinin.
Sindroma Zollinger-Elisson ditandai oleh ulkus peptikum yang rekuren, resisten dan lokasinya tidak lazim akibat gastrinoma; diare terjadi sampai pada sepertiga pasien dan dapat dijumpai dengan gejala pada 10 persen kasus. Diare tidak mutlak sekretorik tetapi sebagian disebabkan oleh volume sekresi asam hidroklorida yang tinggi disamping oleh maldigesti lemak yang terjadi akibat inaktivasi enzim lipase pankreas dan presipitasi asam empedu pada pH yang rendah. Adenoma pancreas sel non-beta dapat mensekresikan sejumlah peptida, termasuk polipeptida intestinal vasoaktif, polipeptida pankreas, sekretin, neurotensin, kalsitonin, prostaglandin dan jenis-jenis peptida lainnya.
Diare sekretorik dapat terjadi akibat penyakit yang berat, reseksi atau operasi bypass ileum distal kalau bagian ileum yang terkena lebih dari 100 cm. Mungkin diare terjadi akibat stimulasi kolon oleh garam-garam empedu dihidroksi yang tidak terabsorpsi dalam ileum terminalis. Dengan mencegah kontraksi kandung empedu dan pengiriman sejumlah besar empedu ke dalam usus, puasa mengurangi jenis diare sekretorik. Diare yang ditimbulkan oleh asam empedu dapat terjadi setelah tindakan kolesistektomi akibat hilangnya kemampuan penyimpanan yang dimiliki kandung empedu.
d. Perubahan Motilitas Usus
Diare dapat dihubungkan dengan gangguan yang menyerang motilitas usus. Yang paling sering adalah sindroma usus iritatif, di mana diare tipikal berubah dengan konstipasi dan mungkin disertai dengan nyeri abdomen, lewatnya mukus dan rasa evakuasi tak lengkap. Namun, pada beberapa pasien, konstipasi sendiri dengan kram abdomen bawah merupakan manifestasi klinis yang utama, sementara yang lainnya hanya dengan diare tanpa nyeri yang agaknya akibat motilitas usus yang terganggu.
Diare kadang-kadang terjadi secara paradoksal sebagai hasil pemadatan fekal atau tumor yang menyumbat dengan aliran berlebihan isi kolon cairan di seitar obstruksi atau feses yang terjepit. Berbagai penyakit neurologik juga dapat disertai dengan diare karena perubahan kontrol fungsi usus secara autonomik. Diare yang berair banyak, sering dengan inkontinensia, dapat terlihat pada pasien muda dengan diabetes dan sering disertai dengan neuropati, nefropati yang berat dan retinopati. Faktor penyebab tambahan dapat termasuk pertumbuhan bakteri berlebihan yang sekunder terhadap gangguan motilitas usus, insufiensi eksokrin pancreas, atau yang jarang penyakit seliaka. Diare juga dapat terjadi pada pasien dengan neuropati traumatik, sindroma Shy-Drager atau lesi kauda ekuina.
e. Diare Faktisius
Diare semu (faktisius) mengalami induksi sendiri oleh pasien dan dapat diakibatkan oleh infeksi usus, tambahan air atau urin pada feses, atau pengobatan sendiri dengan laksatif. Pasien terutama perempuan dengan diare berair kronik yang berat, nyeri abdomen, mual dan muntah, berat badan turun, edema perifer dan kelemahan akibat hipokalemia. Diagnosis diare semu harus dicurigai pada pasien dengan riwayat penyakit psikiatrik atau evaluasi untuk diare sebelumnya negatif.
Tabel 1. Klasifikasi diare kronik
Mekanisme Gambaran klinis Contoh-contoh
INFLAMATORIK
Inflamasi mukosa dan submukosa.
Kerusakan epithelium.
Pada sebagian kasus, absorpsi intestinal terganggu dan terjadi sekresi yang berlebihan.
Panas, nyeri abdomen, darah dan/ atau leukosit dalam tinja
Kolitis ulserativa
Penyakit Crohn
Enterokolitis radiasi
Gastroenteritis eosinofilik
Infeksi yang berkaitan dengan AIDS.
OSMOTIK
Larutan intralumen yang tidak terserap atau tidak tercerna.
Perbaikan keadaan diare setelah pasien berpuasa.
Tinja yang banyak, berlemak dan berbau busuk; penurunan berat badan.
Defisiensi nutrien.
Kesenjangan osmotik pada air feses.
Insufisiensi pankreas
Pertumbuhan bakteri yang berlebihan.
Penyakit seliak.
Defisiensi laktase
Penyakit Whipple.
Abetalipoproteinemia.
Short bowel syndrome
SEKRETORIK
Sekresi elektrolit yang berlebihan
Diare yang encer dan tetap terjadi setelah pasien berpuasa
Dehidrasi
Efek sistemik lain oleh hormon.
Tidak adanya jarak osmotik pada air feses.
Sindroma karsinoid
Sindroma Zollinger-Ellison
Adenoma pankreas yang mensekresikan peptida intestinal yang vasoaktif
Karsinoma medularis tiroid
Adenoma vilosa rektum
Kolitis mikroskopik
Diare cholerrheic
PERUBAHAN MOTILITAS INTESTINAL
Transit yang cepat
Pada sebagian kasus berkaitan dengan pertumbuhan bakteri yang berlebihan
Diare yang silih berganti dengan konstipasi
Gejala neurologi; kelainan yang mengenai kandung kemih
Irritable bowel syndrome (sindroma usus iritatif)
Fecal impaction
Penyakit neurologi
PSEUDODIARE
Diare ditimbulkan sendiri oleh pasien
Biasanya perempuan
Diare encer dengan hipokalemia, lemah dan edema.
Penyalahgunaan preparat pencahar.
B. Etiologi
Penyebab utama penyakit diare adalah infeksi bakteri atau virus. Jalur masuk utama infeksi tersebut melalui feses manusia atau binatang, makanan, air, dan kontak dengan manusia. Kondisi lingkungan yang menjadi habitat atau pejamu untuk patogen tersebut atau peningkatan kemungkinan kontak dengan penyebab tersebut menjadi resiko utama penyakit ini. Sanitasi dan kebersihan rumah tangga yang buruk, kurangnya air minum yang aman, dan pajanan pada sampah padat (misalnya, melalui pengambilan sampah atau akumulasi sampah di lingkungan) yang kemudian menyebabkan penyakit diare. Semua hal ini kemudian sering diasosiasikan dengan fasilitas manajemen sampah dan air yang buruk, prosedur yang aman didalam sistem persediaan makanan (misalnya selama manajemen di peternakan, penyimpanan makanan dan penjualan makanan eceran) yang kurang memadai, dan pengendalian polusi lingkungan (misalnya dengan limbah pertanian) yang tidak memadai.
Epidemik penyakit diare juga dapat terjadi sebagai akibat dari kejadian polusi atau bencana alam besar, seperti banjir. Musim kemarau tampaknya juga dapat menyebabkan wabah penyakit diare karena bertambahnya kekuatan patogen di saluran air dan kebutuhan akan penyimpanan air rumah tangga (sering terdapat dalam kondisi yang sangat tidak memadai). Di luar hal-hal ini terdapat banyak penyebab yang lebih umum dari status kesehatan buruk pada anak-anak, yaitu kemiskinan, pengucilan di bidang sosial dan kebijakan serta pengendalian lingkungan yang buruk (WHO, 2008).
1. Faktor infeksi : Bakteri ( Shigella, Shalmonella, Vibrio kholera), virus (Enterovirus), parasit (cacing), kandida (Candida Albicans).
2. Faktor parentral : Infeksi dibagian tubuh lain (OMA sering terjadi pada anak-anak).
3. Faktor malabsorbsi : Karbihidrat, lemak, protein.
4. Faktor makanan : Makanan basi, beracun, terlampau banyak lemak, sayuran dimasak kutang matang.
5. Faktor Psikologis : Rasa takut, cemas.
D. Manifestasi Klinis
1. Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer
2. Terdapat tanda dan gejala dehidrasi; turgor kulit jelek (elastisitas kulit menurun), ubun-ubun dan mata cekung, membran mukosa kering
3. Keram abdominal
4. Demam
5. Mual dan muntah
6. Anorexia
7. Lemah
8. Pucat
9. Perubahan tanda-tanda vital; nadi dan pernafasan cepat
10. Menurunnya atau tidak ada pengeluaran urine
E. Komplikasi
Diare dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Sebagian besar komplikasi disebabkan oleh ketidakseimbangan cairan di dalam tubuh. Komplikasi yang lebih serius dapat berupa sepsis (pada infeksi sistemik) dan abses liver.
1. Dehidrasi
Diare berat yang disertai nausea dan muntah sehingga asupan oral berkurang dapat menyebabkan dehidrasi, terutama pada anak dan lanjut usia. Dehidrasi bermanifestasi sebagai rasa haus yang meningkat, berkurangnya jumlah buang air kecil dengan warna urin gelap, tidak mampu berkeringat, dan perubahan ortostatik. Hal ini disebabkan oleh tubuh yang senantiasa menjaga homeostasis. Rasa haus dan pengeluaran urin yang sedikit saat tubuh kekurangan cairan bertujuan mengatur osmolaritas cairan ekstraselular.
Dehidrasi yaitu suatu keadaan tubuh dimana cairan yang keluar lebih banyak daripada cairan yang masuk. Menurut keadaan klinisnya, dehidrasi dibagi menjadi :
a. Dehidrasi ringan (hilang cairan 2-5% BB) : turgor berkurang, suara serak (vox cholerica), pasien tidak syok. Menurut klasifikasi WHO, dehidrasi ringan ditandai dengan penurunan cairan 5% dari total berat badan tanpa ada keluhan mencolok selain anak terlihat lesu, haus, dan agak rewel.
b. Dehidrasi sedang (hilang cairan 5-8% BB) : turgor buruk, suara serak, pasien dalam keadaan presyok atau syok, nadi cepat, napas cepat dan dalam. Menurut klasifikasi WHO, dehidrasi sedang ditandai dengan penurunan cairan 5-10% dari total BB dengan tanda berupa gelisah, cengeng, kehausan, mata cekung, dan kulit keriput.
c. Dehidrasi berat (hilang cairan 8-10% BB) : tanda sama dengan dehidrasi sedang disertai dengan kesadaran menurun (apatis sampai koma), otot-otot kaku, dan sianosis. Menurut klasifikasi WHO, dehidrasi berat ditandai dengan adanya penurunan cairan tubuh >10% dari total berat badan dengan tanda berupa BAB cair terus menerus, muntah terus menerus, kesadaran menurun, sangat lemas, terus mengantuk, tidak bisa minum, tidak mau makan, mata cekung, bibir kering dan biru. Selain itu, terdapat pula tanda berupa cubitan kulit baru kembali setelah lebih dari 2 detik, tidak kencing selama 6 jam atau lebih (frekuensi berkurang), dan terkadang disertai panas tinggi dan kejang.
2. Syok Hipovolemia
Hipovolemia adalah keadaan berkurangnya volume darah yang bersirkulasi dalam tubuh. Keadaan ini tergolong darurat dimana jumlah darah dan cairan yang hilang membuat jantung tidak mampu memompa darah dalam jumlah yang cukup. Kehilangan cairan pada syok hipovolemik bisa disebabkan oleh terbakar, diare, muntah-muntah, dan kekurangan asupan makan. Untuk mempertahankan perfusi jantung dan otak, maka terjadi peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, pelepasan hormone stress serta ekspanasi besar untuk pengisian kembali cairan interstitial dan ekstraselular, serta penurunan volume urin.
3. Feses Berdarah
Feses yang disertai darah dapat disebabkan oleh Entamoeba hystolytica. Meskipun mekanisme pastinya belum diketahui, diduga trofoit menginvasi dinding usus dengan mengeluarkan enzim proteolitik. Pelepasan bahan toksik menyebabkan reaksi inflamasi yang merusak mukosa. Bila berlanjut maka akan timbul ulkus hingga lapisan submukosa atau lapisan muskularis. Pada pemeriksaan tinja pasien ditemukan darah yang menandakan bahwa protozoa ini memfagosit eritrosit (erotifagositosis).
Selain protozoa, feses berdarah juga disebabkan oleh bakteri genus Shigella. Empat spesies Shigella adalah S.dysenteriae, S.flexnerii, s.bodii, dan S.sonnei menyebabkan disentri yaitu tinja cair yang mengandung PMN dan darah. Kuman ini mendiami kolon dengan cara menginvasi lalu bereplikasi didalamnya. Lesi awal terjadi dilapisan epitel dan menyebabkan inflamasi local yang cukup berat (PMN+makrofag) yang berujung pada edema, mikroabses, hilangnya sel goblet, kerusakan struktur jaringan, dan ulserasi mukosa.
4. Demam
Bakteri yang masuk kedalam tubuh dianggap sebagai antigen oleh tubuh. Bakteri tersebut mengeluarkan toksin lipopolisakarida dari membrane sel. Sel yang bertugas menghancurkan zat-zat toksik atau infeksius tersebut adalah neutrofil dan makrofag dengan cara fagositosis atau non fagositosis. Sekresi fagositik menginduksi timblunya demam, terutama melalui pelepasan pirogen endogen (interleukin-I). Respon ini utama muncul ketika bakteri invasive beredar didalam sirkulasi lalu difagosit oleh makrofag dan neutrofil. Pirogen endogen selanjutnya merangsang pengeluaran prostaglandin (prostaglandin E2) dari hipotalamus sehingga terjadi kenaikan suhu tubuh. Oleh karena itu pemberian aspirin dapat menurunkan demam sehingga disebut sebagai antipiretik. Suhu yang lebih tinggi ini meningkatkan proses fagositosis dan kecepatan aktivitas enzim yang diperantarai enzim. Melalui studi eksperimen pada hewan, mekanisme kerja endogen dapat secara langsung atau tidak langsung (membutuhkan beberapa jam untuk mempengaruhi hipotalamus).
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan tinja
a. Makroskopis dan mikroskopis
b. Ph dan kadar gula dalam tinja
c. Kultur dan uji resistensi
2. Pemeriksaan keseimbangan asam basa ® AGD
3. Pemeriksaan keseimbangan cairan dan elektrolit ® Hb-Ht, Na, K, Ca dan F
G. Penatalaksanaan
1. Rehidrasi.
a. Cairan peroral
Pada klien dengan dehidrasi ringan dan sedang diberikan peroral berupa cairan yang bersifat NaCl dan NaHCO3 dan glukosa. Untuk diare akut dan kolera pada anak diatas 6 bulan kadar Natrium 90 mg/l. Pada anak dibawah umur 6 bulan dengan dehidrasi ringan-sedang kadar natrium 50-60 mEg/l. Formula lengkap disebut oralit, sedangkan larutan gula garam dan tajin disebut formula yang tidak lengkap karena banyak mengandung NaCl dan sukrosa.
b. Cairan prenatal
1) Untuk anak umur 1 bulan – 2 tahun berat badan 3 – 10 kg
a) 1 jam pertama : 40 ml/kgBB/menit = 3 tts/kgBB/mnt (infus set berukuran 1 ml = 15 tts atau 13 tts/kgBB/menit (set infus 1 ml = 20 tetes).
b) 7 jam berikutnya : 12 ml/kgBB/menit= 3 tts/kgBB/mnt (infusset berukuran 1 ml = 15 tts atau 4 tts/kgBB/menit (set infus 1 ml = 20 tetes).
c) 16 jam berikutnya : 125 ml/kgBB/ oralit
2) Untuk anak lebih dari 2-5 tahun dengan berat badan 10-15 kg
1 jam pertama : 30 ml/kgBB/jam atau 8 tts/kgBB/mnt (1 ml = 15 tts atau 10 tts/kgBB/menit (1 ml = 20 tetes).
3) Untuk anak lebih dari 5-10 tahun dengan berat badan 15-25 kg
a) 1 jam pertama : 20 ml/kgBB/jam atau 5 tts/kgBB/mnt (1 ml = 15 tts atau 7 tts/kgBB/menit (1 ml = 20 tetes).
b) 7 jam berikut : 10 ml/kgBB/jam atau 2,5 tts/kgBB/mnt (1 ml = 15 tts atau 3 tts/kgBB/menit (1 ml = 20 tetes).
c) 16 jam berikut : 105 ml/kgBB oralit per oral.
4) Untuk bayi baru lahir dengan berat badan 2-3 kg
a) Kebutuhan cairan: 125 ml + 100 ml + 25 ml = 250 ml/kg/BB/24 jam, jenis cairan 4:1 (4 bagian glukosa 5% + 1 bagian NaHCO3 1½ %.
Kecepatan : 4 jam pertama : 25 ml/kgBB/jam atau 6 tts/kgBB/menit (1 ml = 15 tts) 8 tts/kg/BB/mt (1 ml = 20 tts).
b) Untuk bayi berat badan lahir rendah
Kebutuhan cairan: 250 ml/kg/BB/24 jam, jenis cairan 4:1 (4 bagian glukosa 10% + 1 bagian NaHCO3 1½ %).
2. Pengobatan dietetik
a. Susu (ASI, susu formula yang mengandung laktosa rendah dan lemak tak jenuh.
b. Makanan setengah padat (bubur atau makanan padat (nasi tim).
c. Susu khusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan misalnya susu yang tidak mengandung laktosa dan asam lemak yang berantai sedang atau tak jenuh.
3. Obat-obatan
Prinsip pengobatan adalah untuk menggantikan cairan yang hilang dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau karbohidrat lain.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN ANAK
DENGAN DIARE
An. X (16 tahun) mengeluh beberapa kali buang air besar dan perutnya terasa mulas. An. X juga mengatakan bahwa fesesnya cair. Sehari sebelumnya An. X mengatakan makan makanan pedas. TD 100/70 mmHg, dan klien tampak lemas, pucat.
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Nama : An. X
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 16 tahun
2. Riwayat Kesehatan dan Keperawatan :
a. Keluhan utama
Pasien mengalami sakit perut, mulas, dan beberapa kali BAB serta konsistensi feses cair.
3. Pemeriksaan Fisik :
a. Keadaan umum
Pasien tampak lemas pucat.
b. Pemeriksaan tanda vital
Tekanan darah 100/70 mmHg, suhu tubuh 380C, pernafasan 28x / menit, tekanan nadi 84x / menit, BB 45 kg.
c. Pemeriksaan kepala dan leher
Pada wajah : pucat
Mata : cekung
d. Pemeriksaan pada kulit
Turgor kulit kurang elastic dan tampak kering.
e. Pemeriksaan abdomen
Adanya distensi abdomen.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Defisit volume cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan output cairan yang berlebihan.
2. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual dan muntah.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan iritasi, frekwensi BAB yang berlebihan.
4. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi abdomen.
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakit, prognosis dan pengobatan.
6. Cemas berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua, prosedur yang menakutkan.
.
C. Intervensi
Diagnosa 1. Defisit volume cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan output cairan yang berlebihan.
Tujuan : Devisit cairan dan elektrolit teratasi
Kriteria hasil : Tanda-tanda dehidrasi tidak ada, mukosa mulut dan bibir lembab, balan cairan seimbang
Intervensi : Observasi tanda-tanda vital. Observasi tanda-tanda dehidrasi. Ukur input dan output cairan (balan cairan). Berikan dan anjurkan keluarga untuk memberikan minum yang banyak kurang lebih 2000 – 2500 cc per hari. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi cairan, pemeriksaan lab elektrolit. Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian cairan rendah sodium.
Diagnosa 2. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubuingan dengan mual dan muntah.
Tujuan : Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi teratasi
Kriteria hasil : Intake nutrisi klien meningkat, diet habis 1 porsi yang disediakan, mual, muntah tidak ada.
Intervensi : Kaji pola nutrisi klien dan perubahan yang terjadi. Timbang berat badan klien. Kaji faktor penyebab gangguan pemenuhan nutrisi. Lakukan pemeriksaan fisik abdomen (palpasi, perkusi, dan auskultasi). Berikan diet dalam kondisi hangat dan porsi kecil tapi sering. Kolaborasi dengan tim gizi dalam penentuan diet klien.
Diagnosa 3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan iritasi, frekwensi BAB yang berlebihan.
Tujuan : Gangguan integritas kulit teratasi
Kriteria hasil : Integritas kulit kembali normal, iritasi tidak ada, tanda-tanda infeksi tidak ada
Intervensi : Ganti popok anak jika basah. Bersihkan bokong secara perlahan menggunakan sabun non alkohol. Beri zalp seperti zinc oxsida bila terjadi iritasi pada kulit. Observasi bokong dan perineum dari infeksi. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi antifungi sesuai indikasi.
Diagnosa 4. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi abdomen.
Tujuan : Nyeri dapat teratasi
Kriteria hasil : Nyeri dapat berkurang / hilang, ekspresi wajah tenang
Intervensi : Observasi tanda-tanda vital. Kaji tingkat rasa nyeri. Atur posisi yang nyaman bagi klien. Beri kompres hangat pada daerah abdomen. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi analgetik sesuai
indikasi.
Diagnosa 5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakit, prognosis dan pengobatan.
Tujuan : Pengetahuan keluarga meningkat
Kriteria hasil : Keluarga klien mengerti dengan proses penyakit klien, ekspresi wajah tenang, keluarga tidak banyak bertanya lagi tentang proses penyakit klien.
Intervensi : Kaji tingkat pendidikan keluarga klien. Kaji tingkat pengetahuan keluarga tentang proses penyakit klien. Jelaskan tentang proses penyakit klien dengan melalui pendidikan kesehatan. Berikan kesempatan pada keluarga bila ada yang belum dimengertinya. Libatkan keluarga dalam pemberian tindakan pada klien.
Diagnosa 6. Cemas berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua, prosedur yang menakutkan.
Tujuan : Klien akan memperlihatkan penurunan tingkat kecemasan
Intervensi : Kaji tingkat kecemasan klien. Kaji faktor pencetus cemas. Buat jadwal kontak dengan klien. Kaji hal yang disukai klien. Berikan mainan sesuai kesukaan klien. Libatkan keluarga dalam setiap tindakan. Anjurkan pada keluarga untuk selalu mendampingi klien.
D. Evaluasi
1. Volume cairan dan elektrolit kembali normal sesuai kebutuhan.
2. Kebutuhan nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhan tubuh.
3. Integritas kulit kembali normal.
4. Rasa nyaman terpenuhi.
5. Pengetahuan kelurga meningkat.
6. Cemas pada klien teratasi.
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Kliegma & Arvin. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Ed. 15. Jakarta : EGC.
Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of Medical Physiology. Metabolism and Temperature Regulation. 11th ed. China : Elsevier Saunders.
Halim, Herliani. 2011. Komplikasi Diare. (Online). (http://medicinesia.com/., diakses 13 April 2012)
Kurt J, Isselbacher … [et al.]. 1999. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison Edisi 13. Jakarta : EGC
Carpenitto.LJ. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis. Ed 6. Jakarta : EGC.
National Safety Council. 2006. Pertolongan Pertama dan RJP pada Ed. 4. Jakarta : Arcan.
Simadibrata M, Daldiyono. 2009. Diare Akut. In Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta : Interna Publishing.
Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia : Dari Sel Ke Sistem. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Suriadi & Yuliani,R. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.
Wijaya IP. 2009. Syok hipovolemik. In Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta : Interna Publishing.
World Health Organization. 2008. Indikator Perbaikan Kesehatan Lingkungan Anak. Jakarta : EGC.