Selamat Membaca. . .
Semoga Bermanfaat ^____^

Selasa, 21 Februari 2012

NURANI PEMIMPIN NEGERIKU

Oleh: Elvia Malbeni




“ Ayah. . .ayah. . .”
Sesosok gadis kecil menangis  dalam tidurnya. . .dia, humaira anakku yang baru berumur 5 tahun. Mendengar tangisan dalam tidurnya aku seakan tersadar kembali. Yya. . .Mas Aziz suamiku. . .imam ku. . .dan pahlawan keluarga kami telah meninggalkan kami untuk selamanya. Kejadian seminggu yang lalu seakan mimpi buruk dalam hidupku. Yang mengubah seluruh bagian hidupku.
Masih sangat jelas diingatanku ketika pagi itu suamiku berangkat kerja seperti biasanya. Senyuman yang teduh itu masih menempel di bibirnya. Tak lupa dia menciumi anak semata wayang kami dan melambaikan tangannya. Nampak kegembiraan yang mendalam di wajahnya. . .Mas Aziz telah berjanji pada kami bahwa dia akan pulang telat karena harus ke rumah salah satu keluarga kami.


Yang ku tahu Dia menyuruh ku untuk menunggu jam 8.00 WIB. Humaira sangat senang dan tak sabar menunggu kepulangan Ayahnya. Gadis kecil ku ini memakai baju terbaiknya untuk menyambut Ayahnya. Baju merah muda bercorak biru laut yang baru di belikan Ayahnya Tiga hari yang lalu. Aku pun sudah berdandan secantik mungkin dan membayangkan senyumannya ketika melihat penampilan ku.
Namun sampai pukul 22.00 WIB Mas Aziz belum juga pulang. Aku sudah mulai kuatir. Sedangkan Humaira mulai merengek di Pangkuanku
“Bunda. . .ayah mana? G jadi kita keluarr, bunda? Bunda. . .adek udah mulai ngantuk”
“ sabar y sayang. Sebentar lagi ayah pulang” jawabku yang tak bisa menyembunyikan kekuatiran ku. Entah kenapa Aku ingin menangis. Tapi kutahn karena tangisanku akan membuat Humaira tambah kuatir.


Lalu aku dikejutkan oleh deringan ponsel milikku. Aku tak begitu tahu apa yang dikatakan orang seberang sana namun yang ku tahu aku langsung berlari seperti orang yang dikejar hantu. Sesaat kemudian aku baru tersadar bahwa Aku berada di RS. Mataku nanar melihat orang yang ku cintai terbujur kaku di depanku.
Ada apa ini? Kenapa begini? Sejam yang lalu orang ini masih menelpon kami. Masih bercanda dengan putri kami. Aku menatap putri ku yang ikutan menangis
“bunda ayah kenapa? Ayah sakit ya? Ayah. . .bangun donk. . .adek g marah kok kalo sekarang kita g bisa pergi” kata putri ku yang belum menyadari makna dari kejadian ini.


Itu lah yang ku ingat. Selanjutnya aku tak ingat apa2 sampai pemakaman suamiku aku hanya diam dan membisu. Mulutku seakan ingin berteriak pada dunia dan menumpahkan segala kesedihan ku. Namun rahang ku tak kuasa. . .
Berikutnya ku tahu, orang-orang mengatakan bahwa suamiku tertembak saat hendwak pulang kerumah. Tertembak? Kena peluru nyasar. . . .
Yang ku tahu peluru itu berasal dari senapan orang yang tak bertanggung jawab. . .
Isu PILKADA membuat daerah ini panas membara bak di dasar bumi nun jauh disana. Daerah ini berubah jadi tempat yang mencekam. Orang-orang tak lagi berani keluar rumah karena moncong senapan ada dimana-mana. Di semak belukar. . .di mobil mewah . . . dirumah-rumah. . .


Ku hapus air mataku. Tiba-tiba saja kebencian menyeruak di dadaku. Aku menatap bengis pada jejeran foto-foto yang berjejer sepanjang jalan. Dengan beragam orang dan corak. Mereka-mereka tersenyum bahagia tampa mengetahui bahwa mereka baru saja menghancurkan hidup keluargaku. Apa untuk memilih pemimpin harus ada pertumbahan darah. . .kenapa? kenapa? Kenapa?
Sebegitu cintakah engkau pada dunia? Pada jabatan? Sampai kau korbankan beberapa orang yang tak bersalah. . .dimana janjimu wahai pemimpinku. . .aku cinta negri ini. . .aku cinta serambi mekkah ini. Tapi aku kasihan pada tanah rencong ini jika kelak ia dipimpin oleh orang-orang yang tak paham akan tangisan tanah rencong ini.
ku mohon jangan ada lagi letupan bunyi senapan di negeri ini. . .

Seandainya bumi ini bisa berbicara maka dia akan jadi saksi kekejaman para pemimpin yang tak bertanggung jawab. . .
Namun aku. . .seorang janda beranak satu. . .apalah daya dan upaya yang bisa ku lakukan untuk melawan semua ini aku ingin berteriak tapi tak kan sampai. Aku tak punya siapa-siapa lagi yang akan membantuku melawan kekejaman ini.
Tak ada tempat bagiku untuk mengadu selain pada-Nya. ya Hanya Dia yang selalu mendampingiku. . .


Akankah kematian suamiku tak cukup membuat perasaan dan nurani mereka tersentuh atau akan ada lagi Aziz-Aziz berikutnya demi menciptakan isu-isu Jelang PILKADA???? jwablah wahai calon pemimpin negeriku. . .


Apakah Kematian rakyat tak berdosa menjadi tangga bagi mereka untuk mendapatkan jabatan. Sungguh kelak semua itu akan dapat balasan.

Ingatlah. . .kelak akan dipertanggungjawabkan


Wahai pemimpinku. . .sekarang kau tinggal memilih apakah sebelah kaki mu kau bawa ke neraka sehingga masuklah kau kedalamnya atau kah kau bawa ke sorga sehingga kau kekal di dalamnya. Kurasa kau orang yang bijak dalam memilih hal-ini.
Semua angan-angan dan pertanyaan yang tak ada jawabannya itu terus bergelayut di kepalaku sampai aku tertidur sambil mendekap anakku yang telah menjadi yatim. . .
Esok hari masih menyambut ku da aku harus memikirkan kelanjutan hidup kami tanpa Mas Aziz suamiku.
Selamat Jalan. . .semoga kau tenang disisi-Nya
Kelak kami akan menyusul mu. . .Jangan kuatir aku akan bekerja banting tulang demi Humaira, anak kita
 Aku mulai mengantuk dan tertidur. . . sambil membayangkan senyuman itu masih ada bersama kami.  -_-
Nantikan Kami di dunia sana. . .


                                                                 Banda Aceh, 20 Februari 2012