Oleh: Elvia Malbeni
“Ayah.
. .ibu aku berangkat ya” itu kata terakhir yang ku ucapkan sebelum aku beranjak
meninggalkan kampung halamanku yang jauh di pedalaman sulawesi dan menuju kota
semambi mekkah untuk menggapai cita dan cinta ku.
Setelah
5 hari aku dalam perjalanan aku menginjakan kakiku ketanah rencong yang selama
ini aku dambakan. Berbagai perasaan berkecamuk didada ku. Perasaan senang,
cemas, sekaligus bimbang. Aku benar-benar tak tahu apa yang akan aku hadapi
nantinya.
***
Masih
teringat jelas ketika ibu menentang keinginanku untuk melanjutkan studiku ke
tanah seribu raja ini.
“
nak. . .pikir-pikirlah dulu. . .disana lagi konflik. Ibu ndk mau kamu
kenapa-kenapa!! “ kata ibuku cemas.
Ku
lihat ayah hanya diam seakan bingung untuk memutuskan. Tapi tekadku untuk
melanjutkan studi dan menuntuk ilmu agama tak bisa ditawar lagi. Seakan sudah
jadi harga mati...ti...ti....
Titik
***
Ku
langkahkan kakiku dinegeri yang sebelumnya hanya kuketahui lewat peta
indonesia. Ahhh...Aceh...negeri yang beberapa puluh tahun silam juga terkenal
akbiat semangatnya dalam melawan penjajahan belanda. Ada tokoh wanita perkasa
yang kerap diperbincagkan sebagai sosok wanita teladan, Cut nyak dien. Ada juga
Teuku Umat dan Teuku Cit Di Tiro. Berjuang tanpa kenal lelah. Berjuang untuk
rakyat aceh sampai maut diujung tenggorokan. Betapa inginnya Aku menjadi lelaki
segagah beliau. Hmmm bukan berarti di tanah kelahiranku juga tak ada pahlawan.
Pahlawan
yang selalu nongol diuang seribu itulah jagoan tanah kelahiranku. Pangeran
Patimurra. Namun negeri ini bak memiliki magnet yang mampu menarik hatiku
sampai ke pembuluh-pembuluh nadi terkecil ku.
Berbekal
semangat yang tak terkalahkan aku memasuki negeri ini. Sesampai di terminal aku
sibuk mematut-matut diri. Aku memperhatikan pakaianku serta semua barang
bawaanku. Celana ku yang bolong-bolong telah kujahit kemarin. Yah itulah
aku...memakai celana jeans yang sudah 5 tahun setia menemani setiap kegiatanku.
Dengan angkutan umum yang biasa disebut labi-labi
aku menuju sebuah wisma murah yang kebetulan aku ketahui dari salah seorang
penumpang yang duduk disampingku.
Aku
masuk kekamar sempit berukuran 2,5 x 2 m itu dan langsung merebahkan badanku. Letih
dan remuk semua sendi-sendiku mengingat kembali perjalanan panjang yang telah
ku tempuh. Kembali aku menerawang apa yang sedang dilakukan ayah dan ibuku di pedalaman
sana? Apakah aku sanggup bertahan disini? Dinegeri yang sama sekali tidak ku
ketahui.
Tiba-tiba
adzan berkumandang membuyarkan lamunan ku. Buru-buru ku hilangkan semua
kegundahan yang merasuki dada. . . .
Aku
mengambil wudhu dan shalat isya. Ku panjatkan do’a-do’aku pada-Nya dan berharap
Dia selalu melindungi keluargaku disana. Tak lupa pula aku berdo’a agar aku dijadikan
lelaki yang tegar dan tangguh dalam menghadapi problematika hidup ini serta
menanggung semua konsekuensi ats pilihan hidupku. Aku mau segigih dan setangguh
teuku umar yang tak kalah oleh kompeni belanda. Yang memerangi kejahatan dan
kebatilan. Aku mau segagah patimura yang walau seorang pangeran tetap turun
kemedan perang.
Kenapa
kita baru jadi anak pejabat saja sudah sombong selangit. Ckckck benar-benar tak
habis pikir.
Dengan
alasan-alasan itulah aku memeilih terdampar disini.
Diluar
sayup-sayup aku mendengar teriakan semangat beberapa laki-laki yang sibuk
menonton bola. Menonton bola ditemani secangkir kopi hangat. Teriakan semangat
mereka lebih keras dan menggema ketika jagoan yang mereka idolakan membawa
kemenangan. Lalu aku membayangkan “mungkin teriakan para pejuang aceh zaman
dulu lebih kuat dari teriakan tadi. Subhanallah pemuda aceh benar-benar
menabjubkan” pikirku
Dari
teriakan-teriakan bayangan yang ada dikepalaku membuat aku semakin mencintai
tanah rencong ini dan semakin semangat untuk menjadi bagian darinya.
Aku
membayangkan besok pagi aku akan menemukan keajaiban-keajaiban lainnya. Sampai
tanpa sadar aku terlelap dalam khayalan akan aceh keesokan harinya.
Suara
adzan subuh membangunkanku. Walau dingin menusuk tulang namun ku paksaakan untuk
bangkit dan berwudhu. Buru-buru ku kenakan sarung usang yang sempat diselipkan
ibuku sebelum aku berangkat. Tergopoh-gopoh aku menuju mesjid disamping wisma.
Aku sungguh tak ingin ketinggalan shalat berjama’ah.
Sesampai
di mesjid aku kaget tak terkira. Berharap saff memenuhi mesjidnya. Tapi
ternyata hanya satu...dua...tiga....TIGA ORANG SAJA itupun diisi oleh
aki-akinya.
Tak
urung hati bertanya. Kemana pemuda yang semalam?. Kemana pemuda yang
bersemangat?. Kemana pemuda yang semangat juangnya menggoncangkan negeri
belanda.
Sepulang
dari mesjid aku sungguh terpana melihat para pemudanya yang masih tertidur
lelap disamping tumpahan kupinya. Berlahan aku terlena...apa ini yang ku kejar
sampai aku harus menyeberangi lautan demi menjadi pemuda yang berguna. Pemuda
setangguh para pejuang.
***
Aku
masih berprasangka baik. Mungkin hanya sebgaian yang begitu. Dengan sejuta
harapan didada akhirnya aku menuju kampus Syiah Kuala. Menyelesaikan semua
urusan akademik serta beberapa hal lainnya. Hampir sehari aku mondar-mandir
mengurus semuanya. Sampai aku dinyatakan sebagai mahasiswa resmi Universitas
Syiah Kuala. Sungguh hatiku senang tak terkira.
Berhari-hari
aku di sini. Aku sudah menumukan kos-kosan murah meriah. Walau hanya di batasi
papan dan triplek namun aku sungguh bahagia.
Berbulan-bulan
aku mengabaikan kejadian-kejadian yang terjadi disekitarku yang rasanya
memudarkan wajah-wajah teuku umar dibenakku. Seorang pejuang tanggguh sibuk di
warung kupi? Seorang pemuda tangguh menghabiskan waktunya di warnet?
Kembali
aku menelusuri jejak cinta yang ada di hatiku. Berharap disana masih kutemuka
secercah harapan dan cinta yang membuat aku masih tetap bertahan.
Catatan untuk pemuda-pemuda aceh
yang tangguh
Ingat kompeni-kompeni belanda
pernah betekuk lutut dihadapanmu
Apakah kamu akan bertekuk lutut dan
mengaahbiskan waktumu di warung kupi atau warnet??
Jangan kau nodai wajah serambi
mekah ini
Yang selama ini kupandang dengan
cinta yang membara
Jangan sia-siakan magnet cinta. .
.yang ada di tanah ini
Yang mampu menarik siapa saja ke
dalamnya
Banda Aceh, 4 Maret 2012
Jam
20.39
Cerita Ini hanya Fiksi